Perbedaan Pendekatan Kebijakan: China Mendukung Peniru, Indonesia Menindak Pengrajin

Rabu 14-05-2025,11:30 WIB
Reporter : Reza
Editor : Reza

JAKARTA, DISWAY.ID — Cerita tentang industri tas mewah dan ketimpangan kebijakan hak cipta bukanlah hal baru di Indonesia. Jauh sebelum fenomena TikTok membongkar realitas harga barang mewah global, para pengrajin di kampung kecil Tanggulangin, Sidoarjo, telah lama menyadari ironi besar dunia fesyen global. Mereka adalah produsen tas tanpa nama, pengrajin tangan terampil yang mengerjakan pesanan dari luar negeri berdasarkan desain, spesifikasi, dan bahan baku yang sudah ditentukan—semuanya lengkap kecuali satu hal: label merek.

Setiap tahun, puluhan hingga ratusan kontainer tas dari Tanggulangin dikirim ke Italia. Begitu mendarat, tas-tas itu dicap dengan merek-merek ternama dunia seperti Gucci, Prada, dan Fendi, kemudian dijual kembali dengan harga ribuan kali lipat. Dari tas seharga Rp50.000 di Indonesia menjadi barang seharga Rp50 juta di butik-butik Eropa. Namun para pengrajin tetap diam, tetap patuh, karena setiap upaya untuk sedikit berinovasi atau membangun merek lokal—seperti menggunakan label kreatif Karl Sangkoni atau Dony Prada—langsung direspons dengan penggerebekan aparat, tuduhan pelanggaran hak cipta, dan hukuman pidana.

Ketaatan Indonesia terhadap sistem hak kekayaan intelektual global sangat rigid. Negara ini mengajarkan patuh pada paten internasional, bahkan ketika paten tersebut kerap menjadi instrumen dominasi ekonomi global atas negara berkembang. Ini menciptakan iklim usaha yang represif bagi inovasi lokal berbasis peniruan—sebuah fase awal yang, dalam sejarah banyak negara maju, justru merupakan tahapan penting menuju kemandirian industri.

China menempuh jalan sebaliknya. Di sana, peniruan bukan dianggap pelanggaran, melainkan langkah strategis. Seseorang yang mampu meniru produk seperti iPhone tidak dihukum, tetapi diberi modal. Mereka yang mampu meniru sepatu Air Jordan tidak ditangkap, melainkan difasilitasi membangun pabrik. Peniru ponsel pintar dijadikan pendiri merek lokal seperti Oppo, Xiaomi, Vivo, dan Realme—nama-nama yang kini menjadi ikon global. Pemerintah China memahami bahwa peniruan adalah fondasi dari pembangunan industri nasional.

Sikap ini tidak dilandasi pengabaian terhadap hukum, melainkan keberanian bermain dalam ranah kekuasaan ekonomi. China menyadari bahwa dominasi pasar global tidak dibangun melalui kepatuhan semata, tetapi lewat strategi industri jangka panjang. Ketika komponen iPhone dibuat di China dengan biaya murah, negara tersebut memutuskan bahwa jika mereka bisa memproduksi untuk Apple, maka mereka juga bisa memproduksi untuk diri sendiri. Inilah awal dari transformasi ekonomi yang menjadikan China sebagai kekuatan manufaktur terbesar dunia.

Sebaliknya, Indonesia masih berkutat sebagai penyedia tenaga kerja murah, tukang jahit, dan pengrajin tanpa merek. Setiap bentuk peniruan dianggap sebagai pelanggaran berat, dan negara lebih sibuk menindak pengrajin kecil daripada merumuskan kebijakan industri yang visioner. Ironi ini semakin nyata ketika negara-negara lain, termasuk AS melalui kebijakan tarif tinggi era Trump, mulai gusar terhadap strategi peniruan China. Bukan karena itu salah, tetapi karena strategi tersebut mulai efektif menantang dominasi lama.

Kisah ini bukan semata-mata tentang pelanggaran hukum, melainkan tentang perbedaan paradigma. Di satu sisi, ada negara yang melihat peniruan sebagai batu loncatan menuju kemandirian industri. Di sisi lain, ada negara yang menjadikan kepatuhan terhadap sistem global sebagai satu-satunya etika, tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap kedaulatan ekonomi nasional.

Hingga hari ini, Indonesia masih terpaku pada narasi patuh, bahkan ketika peluang-peluang strategis diambil oleh negara lain. Negara ini perlu merefleksikan ulang pendekatannya terhadap kebijakan industri, terutama dalam menghadapi kenyataan bahwa dalam dunia nyata, bangsa pemenang bukanlah yang paling patuh, melainkan yang paling mampu memanfaatkan ruang abu-abu sebagai pijakan menuju kekuatan.

Penulis : Nurdizal M. Rachman

Kategori :