Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Senin 27-10-2025,09:14 WIB
Reporter : Reza
Editor : Reza

Namun, perlahan muncul perubahan arah. Beberapa PTKIN mulai menempatkan perempuan pada posisi strategis wakil rektor, dekan, hingga ketua lembaga. Kehadiran mereka membawa warna baru kepemimpinan yang lebih dialogis, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. 

Namun demikian, jumlah perempuan yang berhasil mencapai posisi tertinggi sebagai rektor masih sangat sedikit. Dari puluhan PTKIN di Indonesia, hanya segelintir yang pernah atau sedang dipimpin oleh perempuan. 

Fakta ini menunjukkan bahwa dinding tak kasat mata masih berdiri di puncak struktur birokrasi akademik Islam.

Minimnya perempuan di posisi rektor bukan karena ketiadaan figur yang cakap, melainkan karena kultur kelembagaan yang belum sepenuhnya siap menerima pola kepemimpinan yang berbeda lebih empatik, komunikatif, dan berbasis kolaborasi. Padahal, pola inilah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang syura (musyawarah) dan amanah (tanggung jawab moral). 

Maka, pergeseran kesadaran tentang kepemimpinan seharusnya tidak berhenti pada simbol keterlibatan, tetapi bergerak menuju transformasi nilai dari kuasa menuju pelayanan, dari jabatan menuju pengabdian.

Di sinilah pentingnya membaca ulang paradigma kepemimpinan di ruang akademik Islam bukan sekadar siapa yang memimpin, tetapi bagaimana kepemimpinan itu dihayati. 

Sebab, patriarki bukan hanya persoalan laki-laki, tetapi juga soal struktur nilai yang menindas keadilan. Dan perubahan sejati hanya akan lahir jika nilai-nilai Islam tentang amanah, keadilan, dan rahmah dihidupkan bukan dalam retorika, tetapi dalam praktik kelembagaan yang memberi ruang tumbuh bagi semua, termasuk perempuan yang siap memimpin dengan hati dan akal sehatnya.

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Teoretis dan Islam

Secara teoretis, kepemimpinan perempuan banyak dikaitkan dengan model transformational leadership yang menekankan nilai empati, komunikasi partisipatif, dan pemberdayaan. 

Penelitian oleh Kasman, Setiadi, dan Zulfikar (2024) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional yang diterapkan perempuan di lembaga pendidikan Islam menciptakan iklim kerja yang lebih inspiratif, kolaboratif, dan membangun kepercayaan. 

Nilai-nilai ini selaras dengan karakter kepemimpinan perempuan yang cenderung mengutamakan relasi, keterlibatan emosional, serta kemampuan mendengar sebelum bertindak.

Selain transformational leadership, teori servant leadership juga semakin mendapat perhatian dalam konteks kepemimpinan Islam. 

Pemimpin dipandang sebagai khadimah seorang pelayan yang mendahulukan kebutuhan umat, menempatkan kesejahteraan kolektif di atas ambisi pribadi, dan menegakkan keadilan dengan penuh kasih.

Model kepemimpinan semacam ini, sebagaimana ditegaskan oleh Lahmar (2024), membantu mengurangi jarak kuasa dan menumbuhkan budaya kepemimpinan yang lebih spiritual, empatik, dan berkeadilan di lingkungan pendidikan Islam.

Sementara itu, teori organisasi kontemporer juga mulai meninjau ulang bias gender dalam struktur kelembagaan. 

Penelitian Rouzi dkk. (2022) mengembangkan kembali gagasan gendered organization dengan menyoroti bagaimana institusi pendidikan Islam masih memelihara norma maskulinitas yang menyingkirkan pengalaman perempuan. 

Tags :
Kategori :

Terkait