Perempuan, Kepemimpinan, dan Amanah di Ruang Akademik Islam

Senin 27-10-2025,09:14 WIB
Reporter : Reza
Editor : Reza

Misalnya, dalam konteks kebijakan kampus yang berwawasan lingkungan atau kesejahteraan sosial, perempuan sering membawa sensibilitas etis dan empatik yang lebih tajam terhadap keseimbangan alam dan kebutuhan masyarakat kecil.

Selain itu, dalam konteks reformasi kelembagaan dan kebijakan kampus responsif gender, kepemimpinan perempuan di PTKIN semakin dipahami sebagai pendorong transparansi dan akuntabilitas. 

Penelitian terkini Why Does Women’s Underrepresentation Transpire in the Leadership of Indonesian State Islamic Universities? oleh Zainal Abidin dkk. (2023) menegaskan bahwa salah satu akar masalah masih terletak pada budaya patriarki dan persepsi keagamaan yang bias gender.

Penelitian lain seperti Women Leadership Model in Islamic Religious College (PTKIN) in Implementing Gender-Responsive Program Policies (2024) juga menegaskan bahwa rektor perempuan di beberapa PTKIN menggunakan gaya kepemimpinan transformasional-demokratis, mendorong partisipasi, dan mengubah pola birokrasi yang kaku menjadi lebih inklusif dan terbuka. 

Sementara itu, Transforming Women’s Leadership in Improving Service Quality in Islamic Boarding Schools (2025) menunjukkan bahwa perempuan yang memimpin dengan empati dan inovasi berhasil meningkatkan mutu kelembagaan dan kepercayaan komunitas akademik.

Dengan kata lain, hadirnya perempuan di ruang akademik Islam tidak hanya memperkaya keberagaman, tetapi juga menghidupkan kembali nilai dasar Islam yang humanis dan progresif.

Ruang akademik menjadi laboratorium sosial untuk menegakkan prinsip musyawarah, keadilan, dan rahmatan lil ‘alamin. 

Dan karya-karya empiris seperti yang dilakukan Fitri menjadi bukti bahwa kepemimpinan perempuan di ruang akademik Islam bukan sekadar wacana, melainkan gerak nyata menuju perubahan yang berbasis nilai dan keberkahan.

Penutup: Dari Amanah Menuju Transformasi

Kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi Islam bukan sekadar isu representasi gender, tetapi refleksi dari sejauh mana nilai-nilai Islam diterapkan dalam praktik kelembagaan. 

Amanah dan keadilan yang menjadi pilar ajaran Islam seharusnya diwujudkan dalam peluang yang setara bagi setiap individu yang memiliki kapasitas dan integritas, tanpa memandang jenis kelamin.

Masih sempitnya ruang bagi perempuan di posisi puncak PTKIN menunjukkan bahwa perjuangan belum selesai. 

Namun, perubahan bisa dimulai dari kesadaran baru bahwa perempuan bukan hanya pendamping, melainkan penggerak transformasi. 

Mereka membawa pengalaman, kebijaksanaan, dan empati yang dapat memperkaya arah pengembangan kampus Islam di masa depan. Dalam konteks ini, kepemimpinan perempuan bukan ancaman bagi tatanan lama, melainkan harapan bagi tatanan baru, kampus yang adil, berintegritas, dan berjiwa rahmah. 

Maka, menguatkan posisi perempuan pemimpin bukanlah sekadar bentuk afirmasi, tetapi bagian dari ikhtiar menegakkan amanah Ilahi di ruang akademik Islam.

Sudah saatnya pemangku kebijakan, terutama Kementerian Agama Republik Indonesia, melihat kepemimpinan perempuan bukan sebagai pilihan alternatif, tetapi sebagai amanah strategis untuk menegakkan nilai keadilan dan kemaslahatan dalam sistem pendidikan tinggi Islam. 

Tags :
Kategori :

Terkait